• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM DRAMA FILM 35-SAI NO KOUKOUSEI (Kajian Pragmatik) 「35歳の高校生」における指示的発話の丁寧さ - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM DRAMA FILM 35-SAI NO KOUKOUSEI (Kajian Pragmatik) 「35歳の高校生」における指示的発話の丁寧さ - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM

DRAMA FILM 35-SAI NO KOUKOUSEI

(Kajian Pragmatik)

高校生

指示的

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana

Program Strata 1 Humaniora dalam Ilmu Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Oleh: Istika

NIM 13050112120010

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(2)

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan sebenarnya, penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun tanpa mengambil bahan hasil penelitian baik untuk memperoleh suatu gelar sarjana atau diploma yang sudah ada di universitas lain maupun hasil penelitian lainnya. Penulis juga menyatakan bahwa skripsi ini tidak mengambil bahan dari publikasi atau tulisan orang lain kecuali yang sudah disebutkan dalam rujukan dan dalam Daftar Pustaka. Penulis bersedia menerima sanksi jika terbukti melakukan plagiasi/penjiplakan.

Semarang, 28 Desember 2016 Penulis

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Disetujui

Dosen Pembimbing I

Reny Wiyatasari, S.S., M.Hum

Dosen Pembimbing II

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Kesantunan Tindak Tutur Direktif dalam Drama Film 35 sai no Koukousei” ini telah diterima dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi

Program Strata-1 Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Pada tanggal: 9 Januari 2017.

Tim Penguji Skripsi Ketua

Reny Wiyatasari, S.S., M.Hum NIP. 197603042014042001 Anggota I

Maharani Patria Ratna, S.S., M.Hum NIK. 19860909012015012028 Anggota II

Elizabeth I.H.A.N.R, S.S., M.Hum NIP. 197504182003122001 Anggota III

Lina Rosliana, S.S., M.Hum NIP. 198208192014042001

Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Entah akan menjadi seorang wanita karir atau ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi seorang Ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan

melahirkan anak-anak yang cerdas

-Dian Paramita Sastrowardoyo-

Usaha yang besar tidak akan pernah mengkhianati hasil

-Reny Sensei-

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah diri mereka sendiri

-(Q.S. Al-Ra’d 11)-

(6)

PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat taufik dan hidayah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian tentang “Kesantunan Tindak Tutur

Direktif dalam Drama Film 35- Sai no Koukousei” ini mengalami banyak

kesulitan. Namun, berkat bimbingan dari dosen pembimbing, maka kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti menerima banyak bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Redyanto Noor, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang.

2. Ibu Elizabeth I.H.A.N.R., S.S., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Diponegoro Semarang.

3. Ibu Reny Wiyatasari, S.S., M.Hum., selaku dosen pembimbing I dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan, masukan, kritik dan saran, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Maharani Patria Ratna, S.S., M. Hum., selaku dosen pembimbing II dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih waktu, arahan, dan bimbingannya selama ini.

(7)

6. Seluruh dosen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang. Terima kasih telah membagikan ilmu yang bermanfaat, bantuan, dan motivasi selama ini.

7. Kedua orang tua tercinta Bapak Sugeng dan Ibu Kari, adikku Diah terimakasih atas do’a dan semangatnya yang telah diberikan kepada penulis.

8. Anharudin Nandiwardana serta sahabat-sahabat tercinta Akmal, Luthfi, Putriana, Tirza, dan Nungki, terimakasih atas tawa, canda, kenangan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama ini.

9. Teman-teman Sastra Jepang 2012. Terima kasih atas cerita, kenangan dan kebersamaannya yang tidak akan pernah terlupakan.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan sehingga skripsi ini bisa selesai.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan pada waktu yang akan datang. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi orang lain sebagaimana penulis mendapatkan pelajaran yang berharga selama proses mengerjakannya.

Semarang, 28 Desember 2016 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

1.4.1. Metode Penyediaan Data ... 10

1.4.2. Metode Analisis Data ... 11

1.4.3. Metode Penyajian Hasil Analisis ... 12

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

1.6. Sistematika ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka ... 14

2.2. Kerangka Teori... 16

2.2.1. Definisi Pragmatik ... 16

2.2.2. Definisi Konteks ... 18

2.2.3. Tindak Tutur ... 19

(9)

2.2.5. Kesantunan ... 34

2.2.6. Sinopsis Drama Film 35-sai no Koukousei ... 44

BAB III PEMAPARAN HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Bentuk-Bentuk Tuturan Direktif yang Terdapat dalam Drama 35-sai no Koukousei ... 46

3.1.1. Tindak Tutur Memerintah yang Terdapat dalam Drama 35-sai no Koukousei ... 48

3.1.2. Tindak tutur meminta yang Terdapat dalam Drama 35 Sai no Koukousei ... 74

3.2 Kesantunan Tindak Tutur Direktif yang Terdapat dalam Drama 35 Sai no Koukousei ... 83

3.2.1 Kesantunan Tindak Tutur Memerintah yang Terdapat dalam Drama 35 Sai no Koukousei ... 83

a. Tindak tutur memerintah yang memenuhi maksim ... 83

(10)

3.2.2 Kesantunan Tindak Tutur Meminta yang Terdapat dalam Drama 35 Sai

no Koukousei ... 108

a. Tindak tutur meminta yang memenuhi maksim ... 109

b. Tindak tutur meminta yang melanggar maksim ... 110

BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan ... 118

4.2 Saran ... 122

YOUSHI ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 126

LAMPIRAN ... 128

(11)

DAFTAR SINGKATAN

mod : modalitas par : partikel

PA : partikel akhir / shuujoshi

(12)

ABSTRACT

Istika. 2016. “Kesantunan Tindak Tutur Memerintah Dan Meminta Dalam Drama Film 35-sai no Koukousei”. Thesis, department of Japanese Studies Faculty of Humanities, Diponegoro University. The First Advisor Reny Wiyatasari, S.S M.Hum. The Second Advisor Maharani Patria Ratna, S.S, M.Hum.

The main matter of this research are : 1. How are the directives speech acts from film 35-sai no Koukousei with meaning of command and request? 2. How are the directives speech acts politeness with meaning of command and request in 35-sai no Koukousei’s film?

The purpose of this research are : 1. To describe about the Japanese speech languange with meaning of command and request in 35-sai no Koukousei’s film. 2. To describe about politeness Japanese speech languange with meaning of command and request speech acts in 35-sai no Koukousei’s film. The data are collected from the film 35-sai no Koukousei. Analyzed data are 25 speech, with 19 data has command meaning and 6 data have request meaning. The collecting data is done with simak method wich are rekam then catat method in specific. Method of data analysis used is padan ekstralingual. Data were analyzed by using compilation theory of Iori and Namatame as reference to analyze the speech acts meaning, and theory from Leech used to analyze about the politeness.

Based from the results of research show that the directives speech acts in this film are unpolite form of command and request speech. This because speech in the film 35-sai no Koukousei delivered directly that most are hurts and not gives any choice to hearer.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

1.1.1 Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan manusia lain untuk menjalin hubungan di dalam lingkungan masyarakat. Untuk menyampaikan sesuatu manusia tidak terlepas dari bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Ilmu yang mempelajari bahasa disebut dengan linguistik. Sebagai ilmu kajian bahasa linguistik memiliki berbagai cabang salah satunya adalah pragmatik atau goyouron(語用論), yaitu cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks dan makna.

Definisi pragmatik menurut Koizumi (1993: 281-282) adalah :

語用論 語法検車 検討 門 い 言語伝

い 場面 い 葉岩

い 中 始 適当 意味 持

‘Pragmatik bukanlah cabang ilmu yang meneliti atau menganalisis tentang penggunaan bahasa, namun mengkaji tentang komunikasi linguistik serta tuturan dalam suatu kejadian. Kalimat yang disebut sebagai tuturan adalah kalimat yang diujarkan diawali dari keadaan yang digunakan di dalamnya tersebut, sehingga memiliki makna yang sesuai’.

(14)

berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.

Berdasarkan teori dari para ahli di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu yang terikat pada konteks atau mengkaji maksud penutur. Dari uraian tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa hubungan antara bahasa dengan konteks merupakan dasar dalam memahami pragmatik.

Konteks adalah latar belakang yang memunculkan sebuah peristiwa tutur. Seperti yang dikatakan oleh Wijana (1996:11), konteks dalam pragmatik pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Melalui pemahaman tersebut maka dalam konteks akan dijelaskan mengenai latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur ketika terjadinya sebuah tuturan. Latar belakang tesebut meliputi semua aspek fisik dan sosial dari tuturan yang bersangkutan. Konteks ini berperan membantu mitra tutur dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

(15)

dengan gengokoudou (言語行動). Austin (1962:108) membagi tindak tutur menjadi tiga yaitu tindak lokusi (hatsuwa koui), tindak ilokusi (hatsuwanai koui) dan tindak perlokusi (hatsuwa baikai koui). Menurut Nadar (2009:14) yang dimaksud dengan tindak lokusi adalah tindak tutur yang semata-mata untuk menyatakan sesuatu. Berbeda dengan tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur untuk melakukan sesuatu. Misalnya tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta dan sebagainya. Sedangkan tindak tutur perlokusi adalah tindakan untuk mempengaruhi mitra tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk dan lain-lain.

Searle (dalam Koizumi 1993:336-337) mengklasifikasikan tindak ilokusi menjadi 5 yaitu, Asertif (hangenteki), Direktif (shijiteki), Komisif (genmeiteki), ekspresif (hyoushutsu teki), dan Deklaratif (sengenteki). Tuturan memerintah dan meminta termasuk dalam jenis tindak tutur direktif atau dalam bahasa Jepang disebut dengan shiijiteki (指示的). Tindak tutur direktif adalah tindak

tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tuturnya melakukan tindakan. Misalnya, perintah, permintaan, pertanyaan dan lain-lain. Contoh dari tindak tutur direktif dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut :

所 前 書い い

Koko ni jyuusyo to namae wo kaite kudasai.

‘Tolong tulis alamat dan nama anda disini’

(16)

menuliskan alamat dan nama, melainkan mitra tutur harus melakukan tindakan menuliskan alamat dan nama sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh penutur. Menurut Yule, (1996:93) tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur.

Penulis dalam penelitian ini tertarik untuk mengkaji tindak tutur direktif dengan makna memerintah dan meminta kepada mitra tutur, karena tindak tutur ini adalah salah satu tindak tutur yang membutuhkan perhatian dan kehati-hatian dalam mengungkapkannya. Rahardi (2005:79) mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Sementara itu, kalimat permintaan merupakan kalimat perintah dengan kadar suruhan yang halus. Lazimnya, kalimat permintaan disertai dengan sikap penutur yang lebih merendah dibandingan dengan sikap penutur pada waktu menyampaikan tuturan perintah.

(17)

a. ー機 使い方 教 い

‘Maukah anda mengajari saya bagaimana cara menggunakan mesin

fotocopy?’

b. ン

‘Bisakah kamu meminjamkan pulpenmu sebentar?’

Tuturan-tuturan tersebut dapat memperhalus maksud penutur dalam meminta orang lain untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh penutur. Selain pemilihan kata yang tepat dan sesuai, untuk menunjukkan rasa hormat dan santun, sering juga digunakan tuturan yang tidak langsung atau dengan kata lain menyembunyikan maksud yang sebenarnya untuk menyuruh.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam masyarakat Jepang adalah penggunaan tingkat tutur. Pemilihan penggunaan tingkat tutur harus tepat dan disesuaikan dengan yang diajak berkomunikasi. Misalnya tingkat tutur keigo

atau sopan digunakan untuk orang yang berstatus sosial lebih tinggi atau orang yang lebih tua dari penutur. Tingkat tutur bentuk biasa digunakan untuk teman sebaya atau akrab serta kepada orang yang lebih muda dari penutur. Dengan mengetahui kesantunannya, anggota masyarakat akan dapat lebih mudah membina relasi dan menjalin kerjasama di dalam membangun komunikasi dan interaksi dengan sesamanya. Untuk mengukur peringkat kesantunan sebuah tuturan, Leech (2011:194-200) mengemukakan tentang skala kesantunan yaitu:

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan. b. Optionality scale atau skala pilihan.

c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan. d. Authority scale atau skala keotoritasan

(18)

Agar lebih jelasnya dalam memahami skala kesantunan, berikut adalah contoh kesantunan dari tindak tutur memerintah dan meminta.

Pelayan toko: 君 中 見 い!

Kimi kaban no naka no mono wo misenasai!

‘Perlihatkan barang yang ada di tasmu’ Baba Ayako : 離 !

Hanashite! ‘Lepaskan !’

(35 sai no Koukousei, episode 10 menit 26:44) Dialog di atas merupakan tuturan direktif yang mengandung makna memerintah. Ungkapan perintah tersebut ditunjukkan dengan adanya penanda lingual ~nasai pada verba misenasai yang berasal dari miseru

‘memperlihatkan’, kemudian mengalami konjugasi ke dalam ungkapan

(19)

Kepala sekolah : 願い 最高

前任校 復帰 近

Yoroshiku onegaishimasu. Seikou no fesutibaru ni sureba zenninkou e no fukki mogun to chikadzukimasu kara.

‘Tolong. Jika festival kita sukses,mungkin semakin dekat kau pindah ke sekolah lamamu’.

Koizumi sensei : 小 任 い

KonoKoizumi ni omakase kudasai.

‘Serahkan saja padaku.’

(35 sai no Koukousei, episode 5 menit 01:14) Dialog di atas merupakan tuturan direktif yang mengandung makna meminta. Ungkapan permintaan pada dialog di atas ditunjukkan dengan adanya penanda o~kudasai pada kata o makase kudasai yang berasal dari makaseru

‘serahkan’, kemudian mengalami konjugasi ke dalam ungkapan perimintaan

o~kudasai sehingga menjadi omakase kudasai ‘serahkan saja padaku’. Tuturan

tersebut memenuhi maksim kedermawanan karena Koizumi memaksimalkan kerugian diri sendiri dengan meminta kepada kepala sekolah agar urusan festival sekolah di serahkan kepadanya, sehingga membuat dirinya memiliki beban. Tuturan bergaris bawah di atas diukur menggunakan skala otoritas. Berdasarkan skala otoritas, tuturan tersebut merupakan tuturan yang santun karena kedudukan penutur sebagai guru berada di bawah kedudukan mitra tutur sebagai kepala sekolah.

(20)

bahwa tiap tuturan memiliki perbedaan baik dari segi makna maupun kesantunannya.

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka penulis akan membahas tentang tindak tutur memerintah dan meminta yang diucapkan oleh para tokoh dari drama film 35-sai no Koukousei. Selanjutnya untuk memfokuskan penelitian, penulis akan menguraikan tindak tuturnya, baik itu dari segi maknanya maupun kesantunannya. Hal ini tentu tidak terlepas dari konteks tuturannya, karena pembahasan tentang tindak tutur sangat erat kaitannya dengan konteks. Drama film 35-sai no Koukousei bercerita tentang siswa SMA yang berumur 35 tahun bernama Baba Ayako wanita misterius yang secara tiba-tiba datang untuk kembali meneruskan sekolahnya di jenjang SMA. Tema cerita film ini tentang bully dan kelas kasta yang berada di lingkungan sekolah, yang juga menjadi alasan dari kembalinya Baba Ayako ke sekolah. Selain itu, juga karena adanya faktor dari masa lalu yang kelam tentang bully.

Penulis dalam analisis ini memilih drama Jepang “35-sai no Koukousei

sebagai sumber data karena ceritanya menarik, ringan dan mudah dimengerti. Film ini juga menampilkan berbagai konflik yang terjadi antar tokoh secara kompleks. Selain itu di dalam drama film Jepang tersebut terdapat banyak dialog yang mengandung tindak tutur memerintah dan meminta sehingga memudahkan penulis dalam melakukan penelitian.

1.1.2 Perumusan Masalah

(21)

analisis. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana wujud tindak tutur direktif yang mengandung makna memerintah dan meminta dalam drama film 35-sai no Koukousei?

2. Bagaimana kesantunan tindak tutur direktif yang mengandung makna memerintah dan meminta dalam drama film 35-sai no Koukousei?

1.2 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan tentang wujud tindak tutur direktif yang mengandung makna memerintah dan meminta dalam drama film 35-sai no Koukousei.

2. Menjelaskan tentang kesantunan tindak tutur direktif yang mengandung makna memerintah dan meminta dalam drama film 35-sai no Koukousei.

1.3 Ruang Lingkup

Supaya penelitian terarah dan tujuan penelitian tercapai, suatu penelitian haruslah dibatasi pada beberapa hal saja. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada salah satu cabang linguistik yaitu pragmatik. Terdapat berbagai objek kajian dalam pragmatik, namun dalam penelitian ini penulis memfokuskan lingkup penelitiannya terhadap tindak tutur dan kesantunan.

(22)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah drama Jepang yang berjudul “35-sai no Koukousei” yang terdiri dari 11 episode.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kebahasaan yang memfokuskan pada bidang pragmatik. Pada penelitian ini penulis lebih menekankan pada makna tindak tutur memerintah dan meminta serta kesantunan dalam tindak tutur tersebut. Oleh karena itu metode yang digunakan adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 2010: 9).

Data-data yang dikumpulkan bukanlah angka-angka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yakni; 1) Metode penyediaan data, 2) Metode analisis data, dan 3) Metode penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1986: 57).

1.4.1 Metode Penyediaan Data

(23)

Proses penyediaan data diawali dengan teknik rekam, yaitu dengan cara mengunduh drama film dan transkrip dialog film 35 sai no Koukousei dari internet. Selanjutnya, penulis menyimak drama film 35 sai no Koukousei dan kemudian mencatat tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam tindak tutur direktif dengan makna memerintah dan meminta. Setelah itu, data-data yang sudah terkumpul dipilah kembali sesuai dengan fokus penelitian.

1.4.2 Metode Analisis Data

Data yang telah dicatat dalam tahap penyediaan data kemudian dianalisis dalam tahap analisis data. Penelitian ini menggunakan metode padan ekstralingual, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun, 2007:120). Hal di luar bahasa yang dimaksud seperti hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks tuturan, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis menghubungbandingkan tuturan-tuturan direktif dengan konteks yang ada, sehingga dapat diketahui makna dan kesantunan dari tuturan tersebut. Tahapan analisis data dalam skripsi ini adalah:

1. Memberi gloss pada setiap tuturan dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

2. Data yang diperoleh dianalisis dengan menjelaskan konteks terlebih dahulu untuk memudahkan dalam proses analisis.

(24)

4. Menjelaskan bagaimana kesantunan dari tindak tutur direktif yang mengandung makna memerintah dan meminta sesuai dengan skala kesantunan Leech.

1.4.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data ini disajikan secara informal. Pengertian metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 2003: 241). Metode penyajian informal ini digunakan dengan tujuan supaya mempermudah pembaca untuk memahaminya.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ini adalah mampu memberikan manfaat baik manfaat dari segi teoritis maupun dari segi praktis.

Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan, wawasan yang lebih luas dalam kajian linguistik. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menunjang perkembangan penelian yang sejenis dalam bidang bahasa terutama pada bidang pragmatik.

(25)

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembaca memahami isi, maka penulisan ini disusun secara sistematis yang disusun berurutan, yaitu :

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini akan dibahas latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, manfaat penulisan, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori

Pada bab ini membahas tentang tinjauan pustaka yang menjadi acuan dalam penelitian ini yang berisi tentang penelitian terdahulu, dan landasan teori yang dipakai penulis dalam menganalisis data. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur, teori memerintah, dan teori kesantunan. Bab III Analisis Data

Pada bab ini akan berisi tentang pemaparan dan pembahasan yang menguraikan pengamatan terhadap wujud tindak tutur memerintah dan meminta serta kesantunan tindak tutur tersebut yang terdapat dalam drama film 35-sai no Koukousei.

Bab IV Penutup

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Berikut ini beberapa tinjauan pustaka terdahulu yang sejenis dan masih relevan dengan penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kiki Rizky Amelia (2012) Universitas Negeri Semarang dengan judul “Kesantunan Imperatif Bahasa Jepang dalam Drama Tada Kimi wo Aishiteru

mendiskripsikan tentang jenis tindak tutur imperatif dan kesantunan dari tindak tutur imperatif yang terdapat dalam film tersebut. Dalam penelitian ini, Rizky menganalisis sebanyak dua puluh tiga data, terdapat lima variasi ragam imperatif yaitu bentuk ~nasai sebanyak satu data, bentuk perubahan kata kerja o atau e

(27)

Penelitian tentang kesantunan direktif dalam bahasa Jepang dilakukan juga oleh Rita Susanti (2008) dari Fakultas Sastra Universitas Bina Nusantara. Penelitiannya yang berjudul “Tindak Tutur Memohon dalam Bahasa Jepang

(IRAI): Analisis Skenario Drama Televisi Jepang Love Story Karya Eriko Kitagawa” lebih memfokuskan pada faktor yang mempengaruhi kesantunan

dalam bertutur. Ragam memohon yang terbanyak ditemukan dalam penelitiannya pada kelompok memohon onegai suru‘memohon sesuatu’. Banyaknya kelompok onegai suru digunakan karena situasi bersifat informal. Faktor kesantunan yang menjadi penyebab dipilihnya ragam memohon tersebut adalah faktor hubungan sosial, status sosial, usia, keanggotaan kelompok, dan situasi. Namun, dari semua faktor tersebut situasi menjadi penentu yang utama.

Selain itu juga ditemukan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Agus Salim dan Roni (2013) dari Universitas Negeri Surabaya yang berjudul “Kesopanan Tuturan Perintah Langsung Bahasa Jepang Berdasarkan Skala

Untung-Rugi dan Hubungan Atasan-Bawahan ( 関 係)”. Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk tuturan perintah langsung yang terdapat dalam Drama Tokyo Dogs. Dari penelitian ini ditemukan 43 jenis tuturan yang diklasifikasikan ke dalam bentuk tuturan yang kurang sopan. Karena dalam tuturan perintah langsung di film tersebut, banyak digunakan oleh penutur yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada lawan tutur dan tuturan perintah tersebut banyak yang menguntungkan penutur dan merugikan lawan tutur.

(28)

yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini penulis akan menganalisis kesantunan tindak tutur memerintah, tetapi penulis memfokuskan kesantunan dengan mengaitkannya teori skala kesantunan. Selain itu, penulis tidak membatasi tindak tutur memerintah secara langsung saja namun keseluruhan dari tindak tutur memerintah, baik tindak tutur memerintah langsung maupun tindak tutur memerintah tidak langsung. Lebih lagi, data yang digunakan penulis diambil dari tuturan-tuturan yang terdapat dalam drama Jepang yang memang sebagian besar mengandung tuturan memerintah karena drama ini menceritakan tentang bully.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Definisi Pragmatik

(29)

Menurut Nadar (2009:2) pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Selain itu, Tarigan (2015:30) menjelaskan bahwa pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Pragmatik dalam bahasa Jepang disebut dengan Goyouron ( 語用論). Koizumi (2001:2) mengungkapkan bahwa :

語用論 言外 意味取 扱 実生活 言

外 意味 汲 取 わ 要

Goyouron wa gengai no imi o toriatsukauga, jisseikatsu ni atte wa, koushita gengai no imi wo kumitoru koto ga kiwamete juuyoo de aru.

‘Pragmatik mempelajari makna implisit (tersirat). Dengan adanya makna implisit dalam kehidupan kita, maka penting untuk dapat memahami makna implisit tersebut.’

Yule (2006:5) juga mengemukakan teorinya bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk linguistik dan pemakaian bentuk-bentuk tersebut. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan, asumsi-asumsi mereka, tujuan atau maksud dari tuturan mereka, dan berbagai jenis tindakan yang mereka perlihatkan kepada orang lain ketika mereka sedang berbicara. Jadi, pragmatik itu melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik, tetapi pragmatik dapat juga merupakan ruang lingkup studi yang mematahkan semangat karena studi ini mengharuskan untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran orang tersebut.

(30)

dalam komunikasi. Pragmatik mengkaji makna yang terikat pada konteks yang melatarbelakangi tuturan tersebut.

2.2.2 Definisi Konteks

Seseorang dalam berkomunikasi tidak hanya membutuhkan kemampuan penggunaan bahasa sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa saja, tetapi penggunaan bahasa juga harus sesuai dengan konteks. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Koizumi (2001:35) yang menyatakan bahwa:

日常経験 わ 私 行 ニ ー ョン

ン 文脈 context 要 役割

演 言 意味 ほ 言外 意味 い

Nichijou keiken kara wakaru koto wa, watashi tachi no okonau komyunikkesyon de ha, kontekusuto moshiku ha bunmyaku (context) ga juuyouna yakuwari o enjite ori, gennai no imi no hoka ni gengai no imi ga aru to iu koto de aru

‘Melalui pengalaman sehari-hari yang kita ketahui, konteks merupakan suatu bagian yang berperan penting dalam komunikasi yang kita lakukan. Baik dalam “makna eksplisit” maupun “maknaimplisit”.’

Hymes (1972:65) mengungkapkan aspek-aspek mengenai konteks dengan membuat singkatan SPEAKING yaitu setting, participants, ends, act of sequence, keys, instrumentalities, norms dan genres “tempat, peserta tutur, tujuan tuturan,

urutan tuturan, cara,media, norma yang berlaku dan genre”. Setting adalah tempat dan waktu terjadinya pertuturan, termasuk di dalamnya kondisi psikologis dan kultural yang menyangkut pertuturan tersebut. Participants menyangkut peserta tutur, Ends menunjuk pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu situasi tutur.

(31)

dilangsungkan. Instrumentalities menunjukkan penggunaan kaidah berbahasa dalam pertuturan. Norms adalah norma atau aturan dalam berinteraksi sedangkan

genres adalah kategori tuturan yang dapat merupakan puisi,surat,artikel, dan lain sebagainya (dalam Nadar, 2009:7).

Menurut Tarigan (2015:33) konteks diartikan sebagai setiap latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan mitra tutur yang menunjang interprestasi mitra tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan ucapan tertentu. Rustono (1999:20), juga berpendapat bahwa konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Misalnya pada contoh berikut ini, pengetahuan bahwa ibu pergi bersama dengan adik menjadi konteks lahirnya tuturan,”Ibu sudah pulang?” jawabannya yang berbunyi, ”Itu adik”. Mitra tutur dapat menafsirkan tuturan, “Itu adik” itu sebagai

kenyataan bahwa ibu sudah pulang.

Berdasarkan penjelasan mengenai konteks di atas, dapat dipahami bahwa konteks menjelaskan bagaimana situasi dari segala hal di sekitar penutur dan mitra tutur saat tuturan tersebut terjadi. Dengan adanya konteks, para penutur yang terlibat dalam sebuah peristiwa tutur dapat memahami apa yang sedang dibicarakan.

2.2.3 Tindak Tutur

(32)

kajian pragmatik, biasanya tindak tuturlah yang selalu disebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Koizumi (2001:81) bahwa :

言語行 研究 語用論 領域 研究 取 扱 い

ニ ー ョン 研究 言語行 特性 考慮 入

(Gengokoui no kenkyuu ha, goyouron no ryouiki no kenkyuu to shite toriatsu katte iru. Komyunikesyon no kenkyuu ha, gengokoui no tokusei wo kouryo ni hairenakere ha naranai).

‘Studi tindak tutur merupakan bagian penelitian dalam ranah pragmatik. Karakteristik tindak tutur harus dipertimbangkan dalam suatu studi komunikasi.’

Menurut Yule (1996:82) tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat sebuah tuturan. Dalam usaha untuk mengungkapkan diri seseorang tidak hanya menghasilkan sebuah tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, namun mereka juga memperlihatkan tindakan dalam tuturan-tuturan tersebut.

Sementara itu, menurut Chaer (2010:27) tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis, dan yang dilihat adalah makna dari tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.

(33)

tindak lokusi atau hatsuwa koui ( 行 ), tindak ilokusi atau hatsuwanai koui

( 行 ), dan tindak perlokusi atau hatsuwa baikai koui ( 媒 行 ). 1. Tindak Lokusi atau hatsuwa koui ( 行 )

Tindak tutur lokusi adalah tindakan mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat yang ditetapkan.

2. Tindak Ilokusi atau hatsuwanai koui ( 行 )

Tindak tutur ilokusi adalah tindakan yang mempunyai makna terkandung dalam tuturan berupa janji, perintah, permintaan dan lain sebagainya.

3. Tindak Perlokusi atau hatsuwa baikai koui ( 媒 行 )

Tindak tutur perlokusi merupakan tindakan untuk mempengaruhi pendengarnya.

Berbeda dengan Austin yang membagi tindak tutur menjadi tiga yaitu lokusi, ilokusi dan perlokusi. Searle (dalam Koizumi 1993:336-337) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima yaitu Asertif (hangenteki), Direktif (shijiteki),

Komisif (genmeiteki), ekspresif (hyoushutsu teki), dan Deklaratif (sengenteki). 1. Asertif atau hangenteki (断言的)

Tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran atas apa yang dituturkan. (menyatakan, mengklaim dan lain sebagainya).

Contoh tindak tutur asertif dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut :

雨 降 い

Ame ga futteiru

(34)

Tuturan, Ame ga futteiru termasuk tuturan asertif. Alasannya adalah tuturan itu mengikat penuturnya akan kebenaran dari isi tuturan tersebut. Kebenaran tuturan itu bisa diperoleh dari kenyataan bahwa tuturan tersebut sesuai dengan fenomena cuaca yang sedang hujan. Dengan kata lain, tuturan tersebut mengandung nilai kebenaran dan dibuat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

2. Direktif atau shijiteki (指示的)

Penutur bermaksud untuk memerintah mitra tutur melakukan suatu tindakan atau aksi. (Memerintah, permintaan, pertanyaan, dan lain sebagainya).

Contoh tindak tutur direktif dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut : 手

Te wo agero

‘Angkat tanganmu !’

Tuturan diatas memiliki maksud bahwa penutur meminta mitra tutur agar mengikuti perintah penutur untuk melakukan tindakan yang diperintahkan. Tuturan tersebut tidak hanya memberikan informasi agar mitra tutur mengangkat tangannya melainkan mitra tutur harus melakukan tindakan mengangkat tangan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh penutur. 3. Komisif atau genmeiteki (言明的)

Tuturan untuk mendeklarasikan sesuatu yang mempengaruhi di masa depan.( Janji, saran, peringatan, persetujuan, dan lain sebagainya).

Contoh tindak tutur komisif dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut:

私 役職 守

Watashi wa yakushoku wo mamoru

(35)

Tuturan itu diucapkan oleh seseorang kepada temannya yang biasa ingkar janji. Tuturan,” Watashi wa yakushoku wo mamoru”, adalah tindak tutur

komisif berjanji. Alasannya adalah tuturan itu mengikat penuturnya agar melaksanakan apa yang telah dituturkan yaitu menepati janjinya. Ikatan untuk menepati janji dinyatakan penuturnya yang membawa konsekuensi bagi dirinya untuk menepatinya.

4. Ekspresif atau hyoushutsu teki (表出的)

Tuturan untuk menyatakan perasaan dari penutur. (Terimakasih, minta maaf, selamat datang, bela sungkawa dan lain sebagainya).

Rustono (1999:41) menambahkan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya, tuturan memuji, mengeluh, mengucapkan terima kasih, mengkritik, memuji dan mengucapkan selamat.

Contoh tindak tutur ekspresif dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut :

贈 物 い

Orimono wo arigatou gozaimasu

‘Terima kasih bingkisannya’

(36)

5. Deklaratif atau sengenteki ( 言的)

Tuturan deklaratif adalah ketika sesuatu yang dituturkan mempengaruhi atau mengubah semuanya (suatu keadaan). (Deklarasi, penamaan, proklamasi, dan lain sebagainya).

Contoh tindak tutur deklaratif dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut :

明日 来 い

Ashita kara konai de moraeru kana

‘Mulai besok tidak perlu datang lagi’

Tuturan diatas dituturkan oleh pemilik sebuah toko kepada pegawainya karena telah melakukan kesalahan dalam suatu pekerjaan. Tuturan diatas bermaksud bahwa pegawai tersebut dipecat dari pekerjaannya dan pemilik toko tersebut melarang pegawainya supaya besok dan seterusnya tidak perlu datang lagi.

Berdasarkan penjelasan tentang macam-macam tindak tutur di atas, dalam penelitian ini penulis akan membahas tindak tutur direktif yang berfokus pada tindak tutur direktif dengan makna memerintah dan meminta. Pembahasan mengenai tindak tutur tersebut dijabarkan pada subbab berikutnya.

2.2.4 Tindak Tutur Direktif

(37)

Selain itu, Rustono (1999:41) mengatakan bahwa kadang-kadang tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penutur agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, dapat dipahami bahwa tindak tutur direktif adalah tuturan yang diucapkan oleh penutur dengan maksud agar pendengar atau lawan bicaranya melakukan suatu tindakan sesuai yang diinginkan oleh si penutur.

Bentuk kalimat direktif dalam bahasa Jepang ada bermacam-macam. Namatame (1996:102-121) menyatakan bahwa yang termasuk dalam bentuk kalimat perintah atau meirei adalah : ~e/~ro/~yo, ~ou/~you/~saseru/ ~seru, ~kudasai, ~nasai, ~tamae, ~goran, ~naika, ~youni, ~mashou, dan ~beshi.

Contoh : 行 !

Hayaku Ike !

‘Cepat pergi !’

Kalimat direktif yang termasuk dalam bentuk permintaan atau irai adalah :

~kudasai, ~te kure, ~te morau, ~te itadakeru, ~onegai, ~choudai, dan ~hoshi. Irai digunakan untuk menyatakan permohonan kepada orang lain, agar tidak melakukan sesuatu.

Contoh : 手

Te o kashite moraemasuka.

‘Dapatkah anda membantu saya?’

(38)

Contoh : 薬 飲 ! Kono kusuri o nomu na !

‘Jangan minum obat ini’

Kalimat direktif dari izin atau kyouka adalah : ~te mo ii, ~sasemashou, dan kalimat berpredikat yurusu & kyokasuru. Kyouka digunakan untuk menyatakan ijin ketika akan melakukan suatu perbuatan.

Contoh: 行 いい ?

Toire he ittemo ii desu ka?

‘Bolehkah saya pergi ke toilet?’

Kemudian yang terakhir adalah bentuk kalimat direktif yang termasuk dalam bentuk anjuran atau teian sebagai berikut : ~houga ii, ~to ii, ~kotoda, ~ba ii,

dan ~ tara ii. Teian digunakan untuk menyatakan anjuran atau memberikan saran kepada orang lain.

Contoh: 結婚 ほ いい

Hayaku kekkon shita hou ga ii.

‘Sebaiknya cepat menikah’

(39)

Tarigan (2015:56) menyatakan, bahwa perintah (mand) merupakan suatu kategori yang lebih umum daripada apa yang biasa diartikan dengan komando

(atau Command). Tuturan memerintah yang disampaikan penutur kepada mitra tutur bertujuan dengan harapan supaya mitra tutur melaksanakan isi dari tuturan itu.

Menurut Iori (2000:146-147), 何 行

い ) 聞 手 強制 原則的 手

聞 手 強制力 揮 人間関係 状況 使わ 表現

Meirei to ha nan raka no koui wo suru koto (mata wa, shinai koto) wo kikiteni kyousei suru koto nanode, gensokuteki ni ha, hanashite ga kikite ni kyousei chikara ha hakki dekiru youna ningen kankei ya jyoukyou no moto de tsukawareru hyougen desu.

‘Memerintah adalah suatu bentuk paksaan pada lawan bicara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka pada prinsipnya meirei

merupakan ungkapan yang digunakan pada kondisi dan hubungan dimana pembicara dapat menunjukkan kuasa atas lawan bicaranya.’

Macam-macam pola kalimat meirei menurut Isao Iori (2000:146-147) dalam buku Nihongo Bunpou Handobokku adalah :

1. Bentuk ~ い (~nasai) Kata kerja masu + nasai.

Pola ini digunakan untuk menunjukkan suatu perintah yang tegas dan menjelaskan adanya dominasi penutur terhadap mitra tutur. Biasanya digunakan kepada mitra tutur yang kedudukannya lebih rendah, orang tua kepada anaknya, dan guru kepada muridnya.

Contoh : 食 い

Hayaku tabenasai.

(40)

2. Bentuk ~ (~na) Kata kerja kamus + na.

Pola ini lebih kepada larangan agar mitra tutur tidak melakukan suatu perbuatan, seperti pada rambu-rambu lalu lintas. Karena merupakan ungkapan yang cukup kasar, bentuk ~na biasanya digunakan oleh pria dan tidak digunakan oleh wanita. Selain itu, bentuk perintah ~na biasanya digunakan oleh orang tua kepada anak, saudara, maupun teman dekat. Contoh :

Fuzakeruna.

‘Jangan main-main!’

3. Bentuk perintah meireikei

Bentuk perintah juga ditandai dengan perubahan akhiran bentuk kamus menjadi akhiran e atau o. Pada kata kerja golongan I 五段動詞 (godan doushi), bentuk kamus yang berakhiran u berubah menjadi akhiran e. Misal,

yomu‘membaca’ menjadi yome‘bacalah’.

Berikut penjabaran singkat mengenai bentuk-bentuk perubahan kata kerja bahasa Jepang. Kelompok kata kerja golongan 1五段動詞 (godan doushi):

Verba Jishokei Renyoukei Teikei Mizenkei Meireikei

Ka-u Ka-i-masu Ka-t-te Ka-wanai Ka-e

Ta-tsu Ta-ti-masu Ta-t-te Tat-tanai Tat-e

Ur-u U-ri-masu U-t-te U-ranai Ur-e

Ka-ku Ka-ki-masu Ka-i-te Kak-anai Kak-e

Oyo-gu Oyo-gi-masu Oyo-i-de Oyog-anai Oyog-e Yo-mu Yo-mi-masu Yo-n-de Yom-anai Yom-e

Aso-bu Aso-bi-masu Aso-n-de Asob-anai Asob-e Hana-su Hana-shi-masu Hana-shi-te Hanas-anai Hanase

(41)

tabero ‘makanlah’. Kelompok kata kerja golongan II 段動詞(ichidan doushi) sebagai berikut :

Verba Jishokei Renyoukei Teikei Mizenkei Meireikei

Mir-u Mi-masu Mi-te Mi-nai Mir-o

Okir-u Oki-masu Oki-te Oki-nai Okir-o

Ner-u Ne-masu Ne-te Ne-nai Ner-o

Taber-u Tabe-masu Tabe-te Tabe-nai Taber-o

Sedangkan, pada kata kerja golongan III 変格動詞 ( henkaku doushi) ,

suru ’melakukan’ menjadi shiro ’lakukanlah’ dan 来 kuru ‘datang’

berubah menjadi いkoi ‘datanglah’.

Verba Jishokei Renyoukei Teikei Mizenkei Meireikei

Su-ru Shi-masu Si-te Si-nai Si-ro

Ku-ru Ki-masu Ki-te Ko-nai Ko-i

Pola di atas menunjukkan perintah langsung dan tegas yang biasanya hanya digunakan oleh laki-laki. Bentuk ini digunakan dalam keadaan darurat, misalnya saat terjadinya suatu pertengkaran. Namatame menambahkan bahwa bentuk perintah meireikei digunakan oleh orang yang memiliki hubungan dekat, kepada orang yang kedudukannya di bawah, kepada musuh dan binatang. Selain itu, dalam keseharian saat berdialog biasanya menggunakan shuujoshi yo dengan nada yang lembut.

4. Shuujoshi

(42)

Jepang adalah menggunakan shuujoshi (partikel akhir). Berikut ini pengertian

shuujoshi menurut Iori (2000:164):

“終助詞 文 現 聞 手 出来 対 態 表

助詞 終助詞

わ ”

Shuujoshi wa bunmatsu ni araware, kikite ya dekigoto ni taisuru hanashite no taido wo arawasu joshi desu. Shuujoshi wa (ka, yo, ne, yone, zo, ze, sa, mono, naa, na, kana, wa).

Shuujoshi adalah partikel yang muncul di akhir kalimat yang menunjukkan sikap penutur terhadap mitra tutur, terhadap suatu keadaaan dan sebagainya.

Shuujoshi terdiriatas ka, yo, ne, yone, zo, ze, sa, mono, naa, na, kana, wa.’

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa shuujoshi digunakan untuk menyatakan sikap maupun perasaan penutur terhadap suatu hal. Berikut ini adalah shuujoshi yang sering digunakan dalam tuturan memerintah yang terdapat pada data yakni shuujoshi yo, ne, dan zo. Menurut Chino (2008:120-135),

shuujoshi yo biasanya digunakan untuk menunjukkan suatu permohonan. Selain itu juga bisa digunakan untuk menunjukkan suatu pernyataan untuk memastikan.

Shuujoshi ne berfungsi untuk memperhalus permintaan, sementara shuujoshi zo

merupakan shuujoshi yang digunakan untuk menunjukkan suatu perintah yang tegas atau ancaman.

(43)

muncul dari sebuah peristiwa tutur. Seperti bagaimana situasi tuturan yang terjadi, dan bagaimana hubungan antara penutur dan mitra tuturnya.

Menurut Iori (2000: 148) dalam tuturan memerintah mitra tutur diwajibkan untuk melaksanakan perintah dari penutur sedangkan dalam tuturan irai atau (permintaan) tidak mewajibkan mitra tutur untuk melaksanakan perintah penutur. Hak untuk memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perintah tersebut ada di mitra tutur. Jadi dalam permintaan, ada dua kemungkinan yaitu mitra tutur melaksanakan atau mitra tutur tidak melaksanakan.

Macam-macam irai menurut Iori (2000:148-150) adalah: 1. Bentuk langsung

a. Bentuk ~ い (~te kudasai) Kata kerja bentuk te+kudasai. Menurut Iori bentuk ~te kudasai merupakan bentuk santun yang digunakan untuk menyatakan permintaan. Namun, ada saatnya pola tersebut tidak santun tergantung dengan konteks tuturannya.

Contoh :

a. 銀行 千 凌駕 い

(ginkou de)sen en satsu ni ryougaeshite kudasai.

(di bank). Tolong tukar dengan lembaran uang seribuan.

b. 売店 千 凌駕 い

( eki no baiten de) sen en satsu ni ryougaeshite kudasai.

(di stasiun). Tolong tukar dengan lembaran uang seribuan.

(44)

Sedangkan dalam buku “Nihongo Bunkei Jiten” selain untuk

menyatakan permintaan, ~te kudasai dapat digunakan sebagai penanda perintah dan petunjuk. Bentuk ini digunakan kepada mitra tutur yang kedudukannya lebih rendah atau setara. Nitta (2009:71) menambahkan bahwa bentuk ~te kudasai biasanya juga digunakan oleh bawahan kepada atasan untuk menyatakan suatu permintaan yang santun.

b. Bentuk ~ (~te kure) Kata kerja bentuk te+kure.

Pola ini merupakan bentuk biasa dari ~te kudasai, karena dituturkan secara langsung jadi pola ini terlihat kasar dan memaksa. Bentuk ini digunakan kepada orang yang kedudukannya dibawah atau setara dan hanya digunakan oleh laki-laki ketika berbicara dengan teman dekat atau keluarga.

Contoh : 帰

Hayaku kaette kure.

Cepat pulang. c. Bentuk ~ (~te)

Penggunaan bentuk dalam tuturan imperatif sangat umum digunakan tanpa memandang jenis kelamin. Bentuk ini sama dengan ~te kure yang memiliki kesan memaksa, namun bentuk ini bisa digunakan oleh laki-laki maupun perempuan saat berbicara dengan teman sebaya maupun keluarga.

Contoh : 帰

(45)

2. Bentuk tidak langsung

a. Bentuk tidak langsung positif

Menggunakan bentuk ~ ~ い ~

い ~ い . Bentuk ini digunakan untuk

menyampaikan perintah kepada orang yang lebih tua atau atasan. Penutur menggunakan bentuk pertanyaan agar tidak terkesan memerintah.

b. Bentuk tidak langsung negatif

Menggunakan bentuk ~ ~ い

~ い ~ い . Maksud penutur meminta

mitra tutur melakukan sesuatu bisa tersampaikan secara lebih sopan, dengan menggunakan bentuk pola ini. Selain itu, ada juga ungkapan biasa yang dituturkan dengan menggunakan pertanyaan yaitu ~ (~te kureru) yang diucapkan dengaan disertai intonasi naik. Bentuk ~te kureru digunakan kepada mitra tutur yang kedudukannya lebih rendah atau sederajat serta kepada teman dekat.

3. Bentuk ~ い (o~kudasai) o + Kata kerja masu+ kudasai.

Bentuk ~ い (o~kudasai) merupakan bentuk hormat dari ~ い. Ungkapan ini merupakan ungkapan tidak murni meminta,

karena sering digunakan pada saat menawarkan suatu tindakan yang memberikan keuntungan mitra tutur.

(46)

atau tidak melakukan sesuatu. Selain itu, Iori juga menambahkan bentuk larangan dapat dikatakan sebagai perintah karena maksud dari bentuk tersebut adalah agar mitra tutur tidak melakukan sesuatu.

Dalam menganalisis bentuk tuturan memerintah yang terdapat dalam Drama

35 sai no Koukousei, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Iori dan teori dari Namatame sebagai pendukung. Penulis akan menggunakan teori dimana untuk mengetahui makna suatu tuturan memerintah tidak hanya dilihat dari penandanya saja. Tuturan tanpa penanda leksikal memerintah pun bisa memiliki makna memerintah yang dapat dilihat dari konteks peristiwa tuturan tersebut. Maka dari itu terkadang penanda suatu permintaan bisa saja memiliki makna perintah dan begitupun sebaliknya. Karena dalam pengungkapan perintah terkesan kasar, maka untuk memperhalus terkadang digunakan bentuk permintaan meskipun tuturan tersebut tetap mengandung makna perintah.

2.2.5 Kesantunan

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu kajian dari ilmu pragmatik.

(47)

“日 語 い 語 対

行 主 対人的 関係 感 使い 寧

表現 言語研究 い 問題 寧

Nihongo ni ha (taberu) to iu go ni tashite, (meshiagaru), (itadaku) nado koui no shutai ya taijin teki na kankei nado ni oujite tsukaiwakeru (teineisa) ga aru. Kore mo gengokenkyuu ni oite mondai to naru (teineisa) no hitotsu de aru.

‘Seperti dalam bahasa Jepang ketika menemui kata ”taberu”, terjadi perbedaan penggunaan ungkapan “kesantunan” ketika mengucapkan “meshiagaru”, “itadaku”, dan sebagainya. Hal itu karena adanya pengaruh hubungan antara subjek penutur dan personalitas. Hal tersebut pun menjadi salah satu masalah penting dalam penelitian bahasa mengenai “kesantunan”.’

Berdasarkan penjelasan Koizumi tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang memperhatikan pemilihan kata dalam mengungkapkan tuturan supaya tidak menyinggung mitra tuturnya. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Mizutani (1991: 3-14) bahwa ada tujuh faktor yang menentukan kesantunan masyarakat Jepang, yaitu keakraban, umur, hubungan sosial, status sosial, jenis kelamin, keanggotaan kelompok, dan situasi. Menurut Yule (2006:104) kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Berdasarkan tiga pendapat tentang teori kesantunan di atas, dapat dipahami bahwa dasar-dasar para ahli tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep kesantunan yang dirumuskan dalam bentuk strategi kesantunan dan ada juga dalam bentuk prinsip kesantunan.

(48)

maksim kebijaksanaan (Kikubari no Kouri), maksim kedermawanan (Kandaisa no Kouri), maksim penghargaan (Zenin no Kouri), maksim kesederhanaan (Kenson no Kouri), maksim pemufakatan (Doui no Kouri), dan maksim kesimpatisan (Kyoukan no Kouri). Berikut penjelasan mengenai keenam maksim kesantunan beserta istilah bahasa Jepangnya:

1. Maksim kebijaksanaan atau Kikubari no Kouri 気配 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa penutur harus membuat kerugian mitra tutur sekecil mungkin dan keuntungan mitra tutur sebesar mungkin.

Contoh :

Rina : “ Ayo, dimakan jajannya! Di dalam masih banyak.” Edo : “Wah, enak sekali. Siapa yang membuatnya Rin ?”

Pemaksimalan keuntungan bagi mitra tutur tampak sekali pada tuturan Rina, yakni Ayo, dimakan jajannya! Di dalam masih banyak. Tuturan tersebut disampaikan dengan maksud agar sang tamu merasa bebas dengan senang hati menikmati hidangan yang disajikan itu tanpa ada perasaan yang tidak enak sedikitpun.

2. Maksim kedermawanan atau Kandaisa no Kouri 寛大 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Contoh :

Siswa Baru : Maaf pak, letak toilet ada di sebelah mana ya? Tukang Kebun : Mari Nak, saya tunjukkan.

(49)

menambahkan beban bagi dirinya sendiri dengan cara menawarkan bantuan untuk mengantarkan siswa baru ke toilet.

3. Maksim penghargaan atau Zenin no Kouri 是認 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa kecamlah mitra tutur sedikit mungkin, pujilah mitra tutur sebanyak mungkin.

Contoh :

Anak : Bu, tadi pagi aku bersih-bersih kamar sendiri.

Ibu : Oh iya, Ibu sudah melihatnya. Kamarmu jadi rapi sekali.

Dari tuturan tersebut, dapat terlihat jelas ketika pemberitahuan yang disampaikan anak terhadap ibunya ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian sehingga menyenangkan hati anak.

4. Maksim kesederhanaan atau Kenson no Kouri 謙遜 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa pujilah diri sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

Contoh :

Rina : Edo, kamu pintar sekali pelajaran Kanji. Setiap ujian menulis Kanji kamu selalu mendapat nilai 100. Padahal saya dapat nilai 70 saja susah sekali.

Edo : Ah, tidak juga. Saya tidak sepintar itu, kok.

(50)

5. Maksim permufakatan atau Doui no Kouri 意 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka, meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.

Contoh:

Tamu : Ruangannya panas ya.

Tuan Rumah : Iya ya. Sebentar saya akan menyalakan AC.

Dari contoh di atas, jelas terlihat adanya kecocokan pendapat antara tamu dan tuan rumah bahwa ruangan tersebut panas. Tuan rumah mengiyakan pernyataan tamu bahwa ruangan panas dan kemudian menyalakan AC agar ruangan menjadi lebih sejuk.

6. Maksim kesimpatian atau Kyoukan no Kouri 共感 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa maksimalkan rasa simpati, minimalkan rasa antipati terhadap mitra tutur.

Contoh :

Ibu Ani : Aku tidak terpilih menjadi Gubernur, padahal aku sudah kampanye besar-besaran.

Ibu Umi : Oh tidak apa-apa. Aku ikut prihatin ya, tahun mendatang dicoba lagi.

Pada dialog di atas, dapat terlihat adanya rasa simpati dari Ibu Umi terhadap pernyataan dari Ibu Ani. Tuturan “Aku ikut prihatin ya” yang diucapkan Ibu Umi sebagai respon pernyataan Ibu Ani memenuhi maksim kesimpatian karena berada pada kesedihan mitra tuturnya dengan cara mengucapkan keprihatinan.

(51)

kesantunan suatu tuturan. Sebaliknya, pelanggaran maksim prinsip kesantunan bisa menjadi sebuah acuan ketidaksantunan sebuah tuturan. Selain teori prinsip kesantunan, Leech (2011:194-200) juga mengemukakan tentang lima skala kesantunan yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya. Kelima skala itu meliputi :

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan.

(52)

dibandingkan dengan tuturan (6) karena beban yang harus dilakukan oleh mitra tutur pada tuturan (1) untuk memotong kentang jauh lebih berat daripada tuturan no (2) yang hanya mengambil koran. Apalagi jika dibandingkan dengan tuturan (6) yang memiliki beban lebih kecil bahkan memberikan keuntungan mitra tutur dengan memakan sandwich.

b. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan.

Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu . Misalnya dalam contoh berikut ini :

Langsung kurang

( Apakah anda keberatan untuk mengangkat telepon)

(6) 電 出

( Apakah mungkin anda bisa mengangkat telepon)

(53)

kesantunan dari besar kecilnya beban yang ditanggung mitra tutur, pada skala ketidaklangsungan ini lebih merperhatikan kesan yang dari sebuah tuturan. Pada tuturan (1) lebih menunjukkan bahwa penutur lebih berkuasa sehingga dengan bebasnya dia memerintah. Namun pada tuturan (6) penutur lebih merendah seolah memperlihatkan bahwa dia ragu bahwa mitra tutur akan melakukan perintahnya atau tidak.

Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan (1) kurang santun karena bersifat langsung maksud tuturannya. Sedangkan tuturan no (2) lebih santun karena bersifat tidak langsung maksud tuturan tersebut. Chaer (2010:57) menambahkan bahwa memerintah dengan bentuk pertanyaan dipandang lebih santun dibandingan dengan bentuk perintah.

c. Optionality scale atau skala pilihan.

Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun.

Contoh : (1) Pindahkan buku ini

(54)

d. Authority scale atau skala keotoritasan

Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

Contoh: (1) Serahkan revisi skripsi itu minggu depan (2) Buatkanlah saya secangkir kopi

Tuturan no (1) dan (2) dalam konteks tuturan yang sama yaitu antara dosen dengan seorang mahasiswa. Tuturan (1) lebih santun karena dosen berhak menggunakan kekuasaannya kepada mahasiswa. Sedangkan tuturan no (2) kurang santun karena dosen tidak dapat menggunakan haknya lagi sebagai dosen. Leech (1993;199) menambahkan bahwa hak dan kewajiban merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan posisi peserta tutur.

e. Social distance scale atau skala jarak sosial.

(55)

hubungan antara penutur dan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

Contoh : (1) A : Saya sakit kepala. Ada obat sakit kepala? B : Ada, di laci meja saya.

(2) A : Saya sakit kepala. Ada obat sakit kepala? B : Ada, di apotek.

Pada contoh dialog di atas, konteks tuturan di berada di kantor. Pada dialog no (1) merupakan tuturan yang santun karena hubungan antara A dan B yang belum akrab. Berbeda dengan dialog (2) tuturan tersebut sudah cukup santun apabila keduanya sudah merupakan teman sehari-hari yang jarak hubungan sosial keduanya sudah dekat. Namun, tuturan tersebut kurang santun jika dituturkan kepada orang yang jarak hubungan sosial keduanya masih jauh dan belum akrab. Leech (1993:199) menambahkan bahwa derajat rasa hormat sebagian besar tergantung pada beberapa faktor-faktor status atau kedudukan, usia dan derajat keakraban.

(56)

2.2.6 Sinopsis Drama Film 35-sai no Koukousei

Drama 35-sai no Koukousei adalah drama yang ditayangkan di NTV pada 13 April 2013 – 22 Juni 2013. Drama ini terdiri dari 11 episode dan bertemakan kehidupan di sekolah yang penuh dengan bully. Drama ini bercerita tentang kehidupan wanita berusia 35 tahun bernama Baba Ayako (diperankan oleh Yonekura Ryoko) yang kembali lagi ke SMA.

Pada awal tahun ajaran baru saat upacara penerimaan siswa, Baba Ayako datang bersamaan dengan penerimaan seorang guru muda yang baru dipindahkan ke sekolah tersebut bernama Koizumi Junichi sensei (diperankan oleh Mizobata Junpei). Nama dari sekolah Baba Ayako adalah SMA Kunikida yang merupakan sebuah sekolah tingkat tiga (tidak favorit). Meski sempat diprotes karena menerima siswi baru berusia 35 tahun itu, kepala sekolah tidak punya pilihan karena Baba adalah siswa yang direkomendasikan oleh pengawas pendidikan Asada Yukinobu (diperankan oleh Watari Tetsuya).

Baba menjadi salah satu siswa di kelas 3A dimana wali kelas dari 3A adalah Koizumi. Baba Ayako bersikap layaknya siswa normal lainnya yaitu pergi ke sekolah menggunakan seragam, mengikuti pelajaran, mengikuti kelas olahraga, mengerjakan tugas sekolah dan juga membawa bekal makan siang seperti yang lain. Tapi dia berangkat dengan mobil mewah, saat jam istirahat merokok di tempat merokok khusus guru dan minum alkohol sepulang kegiatan sekolah.

(57)
(58)

BAB III

PEMAPARAN HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang bentuk-bentuk tindak tutur direktif memerintah dan meminta yang terdapat dalam drama 35-sai no Koukousei

dan kesantunan yang digunakan dalam tindak tutur tersebut. Dari hasil pengumpulan data, telah ditemukan sejumlah 62 data yang terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pertama tindak tutur dengan makna memerintah sebanyak 45 data dan kelompok kedua tindak tutur dengan makna meminta sebanyak 17 data. Berdasarkan hasil analisis dari 45 data akan ditampilkan 19 data yang mengandung makna memerintah terdiri dari satu data memenuhi maksim kesantunan dan 18 data melanggar maksim kesantunan. Begitu juga dari 17 data yang mengandung makna meminta akan ditampilkan enam data terdiri dari satu data memenuhi maksim kesantunan dan enam data melanggar maksim kesantunan.

3.1 Bentuk-Bentuk Tuturan Direktif yang Terdapat dalam Drama 35 Sai no Koukousei.

Berikut ini akan dijabarkan data dengan variasi penanda lingual ~nasai

(59)

Data yang termasuk ke dalam bagian sonota (lainnya), merupakan tuturan yang tidak menggunakan penanda leksikal. Tetapi, tuturan-tuturan tersebut tetap mengandung makna memerintah mitra tutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Agar lebih jelas, berikut ini akan di tampilkan tabel 1 tentang penanda leksikal beserta fungsi dan jumlahnya yang terdapat dalam drama 35-sai no Koukousei.

Tabel 1.

Jumlah Penanda Leksikal Tindak Tutur Direktif dengan Makna Memerintah dan Meminta 13 Sonota (lainnya) Memerintah Data 9, Data 16, Data 18, dan

Data 44 4

(60)

3.1.1 Tindak Tutur Memerintah yang Terdapat dalam Drama 35 Sai no Koukousei

Berikut ini akan dipaparkan 16 sampel hasil analisis data yang diklasifikasikan sebagai tuturan memerintah sesuai penanda leksikal ~nasai tiga data, ~ro dua data, ~e dua data, ~na satu data, ~te kudasai empat data, ~te satu data, ~te kure dua data, ~naide kure satu data, ~naide kudasai satu data, dan

sonota (lainnya) dua data. a. Penanda lingual ~nasai.

Pada sub bab ini akan dijabarkan tiga data tuturan memerintah dengan penanda leksikal ~nasai. Bentuk perintah ~nasai biasanya digunakan kepada mitra tutur yang kedudukannya lebih rendah, orang tua kepada anak, dan guru kepada muridnya.

1. Data 33 (Episode 6 menit 22:27) Konteks:

Percakapan ini terjadi antara Moe dan Ibunya yang saat itu sedang makan malam di ruang makan. Ibu Moe mengutarakan kepada anaknya bahwa dia sudah mengetahui tentang kabar Kitajima selaku pelatih lari dari anaknya telah melukai salah satu muridnya. Mendengar hal itu, Ibu Moe takut kalau hal itu mungkin saja bisa terjadi kepada anaknya. Untuk menghindari ketakutannya itu, dengan intonasi suara yang tegas Ibu Moe menyuruh anaknya supaya keluar dari tim lari tersebut. Ibu Moe :聞い わ

Kiitawayo.

‘Aku sudah dengar’

Moe : ?

Un ?

(61)

Ibu Moe : 伝部 島先生 生徒 暴力

? い 教師 い 部活

辞 い

Ekidenbu no Kitaji sensei ga seito ni houryoku furuttan desutte?Tondemo nai hanashine sonna kyoushi no iru bukka nante.Ima sugu yamenasai.

‘Kitajima Sensei dari tim lari melukai siswa? Sulit dipercaya. Dia bertingkah seperti pelatihmu Berhentilah sekarang juga.’

Moe : 私…

Demo watashi..

‘Tapi aku..’

辞 い

Ima/ sugu/ yame/nasai.

Sekarang/segera/berhenti/mod ‘berhentilah sekarangjuga’

(62)

2. Data 46 (Episode 8, menit 23:38) Konteks:

Percakapan ini terjadi di kelas 3-A antara wakil kepala sekolah dengan seorang guru baru bernama Koizumi. Saat itu Koizumi sedang marah dengan anak-anak kelas 3-A karena ada yang mengunggah video mengenai kedekatannya dengan salah satu muridnya. Kemarahan tersebut membuat Koizumi melontarkan kata-kata yang menghina sekolahnya penuh dengan sampah. Mendengar hinaan dari Koizumi, wakil kepala sekolah marah dan dengan intonasi yang tinggi dia menyuruh Koizumi untuk menarik kembali ucapannya. Bahkan wakil kepala sekolah juga mengancam akan mengirim Koizumi ke pusat training namun Koizumi pasrah terhadap ancaman yang diberikan wakil kepala sekolah tersebut..

Koizumi : ~

い い学校来

Aa. Konna gomi kuzushikanai gakkou kurun janakatta.

‘Aa. Aku tidak mau ke sekolah ini lagi, benar-benar penuh dengan sampah.’

Ima sugu hatsugen o tekkai shinasai!

Anata o kenshou sentaa okuri ni shimasu yo!

‘Tariklah ucapanmu sekarang juga !

Kalau tidak, kami akan mengirimmu ke pusat training lo!’

Gambar

Tabel 1.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan pengelolaan sumber daya manusia pada sektor formal lebih baik dibandingkan dengan sektor informal, selain

Dari hasil analisa Chi-square yang telah dilakukan, bahwa secara keseluruhan tidak ada hubungan yang signifikan antara keterlibatan anggota keluarga dalam usaha mikro dan

Untuk itu, menghindari pencatatan persediaan yang manual, dibutuhkan suatu wadah layanan sistem informasi persediaan barang yang dapat mempermudah manajemen perusahaan

Desain layout web yang perlu dibangun untuk Cyber Market Sentra Keripik Bandar Lampung antara lain; Halaman Utama C yber Market Sentra Keripik Bandar Lampung,

yang telah memberikan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya yang begitu luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implementasi Kegiatan Ta’lim Dalam

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian yang penulis lakukan di SMA Negeri 5 Pontianak maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Dari segi Perencanaan

Így például a Bécsi Kereskedelmi és Iparkamarával folytatott együttműködés rendkívüli jelentőségű volt a budapesti kamara fejlődése szempontjából: Bécsből

A vizitációt teljesítő prelátusokra fordítva immár figyelmünket a következő kép bontakozik ki előttünk: a boszniai püspökök hét, a pécsiek öt, az esztergomi, a